from: M&I Magz Vol.43
oleh. Pribadi Budiono
Tanpa disadari kita hidup dalam peradapan kamera. Hampir semua orang. Apakah itu presiden, politisi, pengusaha, para profesional, pengacara, artis, petani, pemulung baik orang dewasa atau masih anak-anak. Hidupnya tidak terlepas dari kamera. Kemanapun mereka pergi selalu membawa kamera. Terutama handphone yang dilengkapi fasilitas kamera foto atau video. Untuk apa? Ada yang sekedar untuk eksis. Ada pula untuk merekam secara iseng atau pas ada momen-momen yang spesial.
Apa yang ada di depan kamera, hampir tidak ada yang asli. Mereka berakting. Mereka bukan dirinya. Kecuali direkam melalui hidden camera atau CCTV. Ruhut Sitompul berbicara meledak-ledak, karena direkam dan disiarkan televisi. Bagaimana para politisi berbicara keras, saling serang, berebut bicara. Saling mem-bully dan menjatuhkan. Masyarakat diberikan tontonan. Seolah-olah, mereka adalah jagoannya. Karena mereka tahu, bahwa ini direkam dan masuk televisi. Anak-anak lebay bergaya lepas di depan kamera. Mereka selalu eksis dimanapun berada. Para kandidat Calon Gubernur, Bupati atau Walikota tiba-tiba suka turun kebawah. Mereka blusukan ke kampung-kampung kumuh, ke pasar, ke rumah orang-orang miskin. Berbicara untuk membangun daerah. Berjuang untuk membela kepentingan rakyat. Semua ingin menampilkan yang terbaik.
Saya beberapa kali photoshot untuk keperluan company profile. Foto yang diambil hanya 2 sampai 5 jepretan, tapi memerlukan waktu cukup lama. Dari pagi sampai sore. Peralatan yang diperlukan banyak. Mulai dari kamera, lensa berbagai ukuran, lampu-lampu dan beberapa orang untuk membantu, agar hasil jepretannya bagus. Sebelum diambil photoshot, dirias dulu oleh tata rias. Pengambilan gambar dilakukan beberapa kali, bahkan ratusan kali. Kesulitannya cukup banyak. Semua itu dilakukan untuk memberikan hasil yang bagus. Senyum yang bagus. Gambar yang bagus dan berwibawa. Hampir semua dibuat-buat atau direkayasa.
Begitu kamera dimatikan. Manusia berhenti berakting. Kembali ke kehidupan yang sebenarnya. Sebelumnya mereka saling serang dan saling mem-bully. Ternyata mereka teman baik dan sahabat. Namun, begitu kamera dinyalakan kembali. Seperti keajaiban. Seketika mereka berubah kembali. Kembali berakting. Kembali seolah-olah bukan aslinya yang muncul. Mereka bertingkah polah, bergaya sesuai citra diri masing-masing. Menata kemasan, agar terlihat baik sesuai peran yang kita ambil.
Tanpa disadari perilaku atau karakter kita dibentuk melalui kamera. Kita bisa memilih peran. Baik atau tidak tergantung pilihan kita. Sorotan kamera bisa membawa kita ke kondisi yang lebih baik. Kita patut berterima kasih kepada warga negara asing yang liburan ke Bali. Seorang penulis bernama Andrew Marshall menyebutkan Bali saat ini bukan lagi seperti Bali yang dahulu. Mereka memberitakan banyaknya sampah. Seolah-olah liburan mereka bagaikan di neraka. Sampah dimana-mana. Setelah diberitakan di televisi asing, pemerintah bagaikan disengat ular. Seketika pemerintah bergerak bersama-sama membersihkan sampah yang cukup banyak dan bau itu. Ini semua karena kamera. Kamera bisa merubah menjadi yang lebih baik.
Membangun Branding melalui James Bond
Kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia hanya 7,7 juta dan ke Bali sekitar 2,5 juta orang. Ini sangat kecil, jika dibandingkan dengan tetangga kita. Singapura sekitar 20 juta, Thailand dan Malaysia sekitar 25 juta orang. Padahal wilayah kita jauh lebih luas, lebih indah, multikultur. Hampir semuanya ada disini. Mengapa tetangga kita lebih banyak didatangi daripada negara kita? Ini karena mereka semuanya menerapkan rekayasa. Rekayasa melalui media kamera lebih banyak, lebih sering dan lebih berkualitas. Kita juga melakukan namun sendiri-sendiri. Hasil yang diperoleh tidak maksimal. Singapura terkenal dengan Uniqe Singapore atau Malaysia dengan Truly Asia. Ini yang dikomunikasikan. Seperti garuda mengkomunikasikan First Class-nya dengan fasilitas wifi dan chef on board.
Kita bisa seperti Singapura, Malaysia atau Thailand. Bahkan bisa melebihi mereka. Bagaimana caranya? Harus melibatkan unsur rekayasa dan kamera. Kita tidak bisa hanya mengandalkan wisata budaya saja. Budaya di Bali sudah merupakan roh. Budaya bagi Bali sudah menjadi karakter bagi perkembangan pariwisata. Tinggal membangun yang lain melalui rekayasa. Buat Disney di Bali sebagus Disney Tokyo. Buat sirkuit F1 sebagus Monaco. Ini bisa dilakukan tanpa menghilangkan karakter Bali-nya sendiri.
Pemerintah bisa menggandeng studio besar Hollywood. Biayai pembuatan film James Bond. Ajak James Bond ambil lokasi syuting di Bali. Apa mau? Pasti mau. Beri fasilitas gratis bagi mereka. Akomodasi crew-nya ditanggung. Artisnya dibayari. Ini membutuhkan biaya besar. Uang dari mana? Ongkos produksi film James Bond bisa mencapai 2 Triliun rupiah. Ini jumlah yang besar jika ditanggung sendiri. Tidak besar jika yang menanggung orang banyak. Caranya? Transportasi crew ditanggung Garuda Indonesia. Karena ada scene James Bond naik Garuda. Penginapan ditanggung pihak hotel. James Bond tidak minum martini lagi, tapi minumnya teh botol Sosro. Adegan dalam kota bisa dilakukan di Jakarta. Hutan bisa dilakukan di Sumatra atau Kalimantan. Kalau memerlukan binatang buas bisa dilakukan di Pulau Komodo. Pantai bisa dilakukan di Bali. Bali memiliki banyak pantai yang Indah. Karena pantainya digunakan untuk shooting, bisa jadi nama pantainya dirubah menjadi Pantai James Bond. Seperti di Phuket yang terkenal dengan James Bond Island. Bond Girl-nya juga bisa dari artis Indonesia.
Bali dan Indonesia akan dilihat secara masif dan serentak diseluruh dunia pada saat premier film James Bond. Seketika Indonesia dan Bali ikut jadi pembicaraan di dunia. Ini merangsang orang ingin mengunjunginya. Indonesia dan Bali akan menarik deviden atas investasi yang ditanam. James Bond akhirnya berakting sebagai “Menteri Pariwisata Indonesia” sepanjang masa. Membangun Branding melalui James Bond. Ini salah satu rekayasa, bagaimana kemajuan suatu bidang karena pengaruh kamera.
Rhenald Kasali melalui buku terbarunya “Camera Branding” mengajak kita bagaimana membangun Branding melalui kamera.
Selamat membaca, semoga terinspirasi.