Hanya 2 dari 1000 ‘start up business’ yang berhasil menjadi bisnis yang besar
Success ratio keberhasilan sebuah start-up business adalah 4%. Jadi hanya 4% bisnis yang bisa bertahan sampai dengan 10 tahun. Sebuah statistic yang tidak menggembirakan bagi para calon entrepreneur. The odds are against us.
Sebuah penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 4% bisnis yang bisa survive, hanya 5%-nya yang berkembang menjadi bisnis yang besar. Yang omzetnya melebihi 20 Milyar setahunnya.
Kalau diterjemahkan menjadi sebagai berikut: dari 1000 start up business, hanya 40 yang yang bertahan sampai dengan 10 tahun. Dan dari 40 yang survive tadi, hanya 2 yang akan menjadi bisnis besar yang omzetnya melebihi 20 Milyar setahunnya.
Mendirikan sebuah bisnis walaupun tidak gampang, namun kalau tahu caranya, ternyata tidak terlalu sulit. Di edisi lalu, saya membahas 5 kesalahan-kesalahan terbesar yang sering dilakukan oleh para ‘starter’; dimana kalau saja kita bisa menghindarinya, kemungkinan kita masuk menjadi 4% yang survive.
Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan bisnis yang telah susah payah kita rintis.
To start the business is the easiest part, the challenge is to grow the business.
PERTUMBUHAN TERJADI SECARA BERTAHAP
Marilah kita perhatikan perjalanan sebuah bisnis. Pertama kali, seorang entrepreneur mendapatkan ide, menemukan sebuah problem, dan kemudian merasa memiliki ide untuk memecahkan masalah tersebut. Entrepreneurial adalah problem solving for profit.
Stage pertama perjalanan sebuah bisnis adalah kelahirannya. Mulai dari munculnya ide, sampai dengan lahirnya organisasi kecil yang mengakomodir ide tadi. The birth of a business.
Mulai dari ide sampai terbentuknya organisasi yang profitable ini membutuhkan kreativitas dan kerja sangat keras. Kalau saya analogikan, proses ini sama seperti kelahiran seorang bayi, dan kemudian merawatnya. Sangat sulit, menyita emosi serta energi. Bisnis pada fase ini sama seperti bayi. Si bayi karena belum punya ketahanan tubuh, maka menjadi sangat mudah sakit. Sangat rewel dan unpredictable.
Bisnis pada fase inipun demikian, rewel, unpredictable dan sangat mungkin sakit. Bahkan statistiknya menyatakan hanya 4% berhasil survive fase kelahiran ini.
Secara perlahan, melalui proses kreativitas dan eksperimentation, ide tadi kemudian menemukan bentuknya, sebuah bisnis yang ‘mulai’ menguntungkan.
Sebuah bisnis yang saya sebut menemukan niche-nya.
Inilah tahapan pertama lahirnya sebuah bisnis. Dari ide sampai menemukan bentuk dan niche-nya. Saya menyebutnya Fase Kelahiran.
Tahap berikutnya adalah me-Leverage-nya (fase leverage). Tahapan leverage ini artinya memberikan alat bantu terhadap bisnisnya. Bisnis yang sudah leveraged, artinya bisnis yang sudah terstruktur sehingga tidak lagi terlalu tergantung dari sang founder.
Banyak bisnis yang gagal di stage ini. Bisnisnya tidak bisa berkembang karena sangat dan terus-terusan tergantung kepada pendirinya. Tanpa sang founder, bisnisnya mati. The founder is the business.
Ketika foundernya kelelahan, bisnisnya-pun kelelahan. Ketika founder-nya mati, bisnisnya pun mati.
Tantangannya di stage ini adalah bagaimana mendelegasi, mensistemasikan prosedur dan operation, serta membangun kultur.
Jelas sekali, tantangan di stage pertama, kelahiran sebuah ide bisnis sampai ia menemukan bentuk dan nichenya adalah kerja keras, kreativitas dan ekperimentasi. Untuk growth tahap selanjutnya, supaya bisnisnya leveraged, maka ia tantangannya adalah management issue. How to delegate, how to systemize and how to build a company culture.
Selain get leveraged secara organisasi, maka sebuah bisnis yang ingin tumbuh juga harus get leveraged financially.
Di stage ini tantangannya ada dua, yaitu management issue dan financial issue.
Stage berikutnya adalah bagaimana sebuah organisasi yang systemize re-born atau lahir kembali dengan entrepreneurial flexibility-nya. Ini saya sebut fase Kelahiran Kembali.
kembali, akhirnya menjadi tua, obsolete, tidak efesien, tidak up-date, dan kemudian ditinggalkan customernya. Sama seperti orang tua yang kemudian menjadi kaku, akhirnya sakit-sakitan dan kemudian mati.
Jadi growth happened is stages. Pertumbuhan terjadinya secara bertahap-tahap. Setiap tahap tantangan dan issue yang harus kita hadapi berbeda-beda.
YESTERDAY SKILLS SOLVES YESTERDAY PROBLEM
Mengapa banyak bisnis yang walaupun berhasil survive namun tidak bisa take off menjadi bisnis yang besar adalah karena sang founder tidak berhasil membawa bisnis tadi menuju stage berikutnya. Menjadikannya leveraged.
Terstruktur sehingga bisa running tanpa harus 100% tergantung pada dirinya.
Keberhasilannya di stage pertama (fase kelahiran) adalah karena keberhasilannya menggunakan kerja kerasnya dan eksperimennya.
Sementara itu tantangan di stage berikutnya (fase leverage) bukan lagi pada kerja keras dan eksperimentasi, melainkan management issue dan financial issue. Kerja keras dan eksperimentasi tidak cocok lagi untuk mengatasi tantangan yang baru di fase ini.
Kebanyakan pebisnis, tidak mengubah dirinya untuk menghadapi tantangan yang berubah. Cara kerjanya tetap sama saja, yaitu mengandalkan kerja keras dan bereksperimen, sedangkan yang dibutuhan sudah berbeda. Ini yang menyebabkan banyak bisnis yang tidak bisa atau gagal masuk tahap pertumbuhan berikutnya.
Kegagalan di fase ini, membuat bisnis tidak bertumbuh, dan akhirnya mati. Biasanya kalau sebuah bisnis gagal ‘get leveraged’, dan sangat tergantung dari sang pendiri (founder) ketika sang pendiri kelelahan, bisnisnya pun lelah. The founders dies, the business dies. Karena tantangan di setiap tahap pertumbuhan berbedabeda, maka dibutuhkan ketrampilan yang berbeda-beda pula untuk mengatasinya.
Yesterday skills solves yesterday problem.
Kebanyakan founder tidak memperbaharui dirinya dengan skills and tools yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan yang berbeda-beda. Ini yang mengakibatkan bisnisnya tidak bertumbuh. Apa yang kita ketahui telah berhasil membawa kita ke titik ini, namun tidak cukup untuk membawa kita ke tahap pertumbuhan selanjutnya.
Pada edisi lalu (5 Kesalahan Terbesar Yang Dibuat Oleh Entrepreneur) saya mengatakan bahwa saya merasa ketika kapasitas pribadi saya bertumbuh, bisnis sayapun bertumbuh. To grow our business, first we have to grow ourselves. What’s get you here, won’t get you there.
HOW TO GROW YOUR SALES
Tantangan lain dalam mengelola pertumbuhan adalah meningkatkan penjualan. Kegagalan meningkatkan penjualan juga mengakibatkan perusahaan gagal tumbuh.
Ini marketing issue. Ada beberapa penyebab kegagalan kita meningkatkan sales, antara lain:
THE CUSTOMER IS NOT BUYING ENOUGH
Problemnya adalah kemungkinan kita kalah bersaing dengan competitor, sehingga konsumen kita membeli terlalu banyak dari competitor kita. Atau kita tidak punya marketing system yang cukup baik. Atau tidak ada referral, atau tidak ada repeat business dari konsumen lama.
Jika kita mendapati bahwa ‘the customer is not buying enough’ produk kita, periksalah marketing system di perusahaan kita. Cari problemnya.
Kegagalan marketing, menyebabkan kegagalan bisnis kita bertumbuh.
THE MARKET IS NOT ENOUGH
Memancinglah di tempat yang ada ikannya. Seberapapun mahirnya atau ahlinya kita dalam ilmu memancing, jika kita memancing di kolam yang tidak ada ikannya, niscaya kita akan mendapatkan hasil. Periksa apakah ‘market’ yang tersedia untuk bisnis kita cukup jumlahnya. Apakah size market-nya justify dengan bisnis goal kita.
Bersiaplah ekspansi jika kita menemukan bahwa market buat bisnis kita ternyata terlampau sedikit guna mendukung pertumbuhan bisnis kita.
BISNIS MODEL YANG TIDAK COCOK
Untuk mendapatkan volume atau pertumbuhan hanya ada 2 strategi. Yaitu menjual barang mahal (high value item) atau menjual dalam jumlah banyak (low value item).
Kawan saya pernah berbisnis menjual panel ukiran. Yaitu panel-panel batu yang diukir untuk dipasang sebagai dekorasi. Workshopnya di Jawa Tengah. Problemnya adalah tenaga kerja yang terlatih untuk mengukir batu tadi sedikit, sehingga produksinya tidak bisa banyak. Belum lagi karena kompetisi, harganya yang tidak bisa mahal-mahal amat. Walaupun kawan saya ini berhasil di marketing-nya dengan berpameran di sana-sini, hasilnya tidak akan seberapa karena produksinya yang sedikit.
Saya pernah bisnis di interior contractor. Pekerjaannya adalah membuat furniture seperti kitchen set, rak buku, sofa, dan lain sebagainya buat keperluan rumah tangga. Lokasinya di Serpong. Target marketnya adalah perumahan di sekitar Serpong. Pikiran saya adalah jumlah marketnya cukup banyak. Perumahan menjamur sehingga tentunya permintaannya juga akan banyak. Saya mengikuti prinsip “memancinglah di tempat yang ada ikannya”.
Yang saya salah perkirakan adalah perilaku konsumen yang sangat price sentitif. Persaingan sangat ketat karena bisnisnya hampir tidak terdeferensiasi. Harganya harus sangat kompetitif. Problemnya adalah dengan harga yang kompetitif, margin sedikit, jadi saya harus berhemat dengan tenaga tukang. Tenaga tukang yang ‘murahan’ kemudian mengakibatkan produk yang banyak salahnya. Akhirnya margin yang tipis tadi digunakan untuk perbaikan-perbaikan.
Jadi bukannya untung, bisnisnya malahan buntung. Belum lagi, jikalah saya berhasil lolos dengan pekerjaan saya, volumenya tidak akan bisa besar karena kapasitas produksi saya yang kecil.
Jika ingin ‘tailor’ maka marginnya haruslah bagus. Jangan masuk ke segmen market yang sangat price sensitive. Sedangkan jika ingin ‘kompetitif’ di market yang sangat price sensitive, juallah barang-barang yang sifatnya mass. Adik saya yang paling kecil, berdagang retail. Saya menyarankan, kalau mau retail, harus buka toko yang banyak (duplikasi). Jika bisnis modelnya retail, namun outletnya hanya satu, bagaimana bisa mendapatkan economic scale. Circle K modelnya retail, makanya outletnya harus banyak.
Kesalahan bisnis model dapat mengakibatkan sebuah bisnis gagal tumbuh atau bahkan bangkrut.
3 CARA UNTUK MEMBESARKAN BISNIS KITA
Kalau begitu dapat saya simpulkan bahwa ada 3 cara yang harus kita lakukan jika kita ingin membesarkan bisnis kita, yaitu mengatasi masalah-masalah management, marketing dan terakhir adalah finance.
MANAGEMENT ISSUE
Bagaimana mendelegasikan sebagian wewenang, sehingga bisnis dapat berjalan terus walaupun kita tidak berada di tempat. Bagaimana melakukan sistemasikan bisnis, sehingga bisa dikontrol dan diduplikasikan. Bagaimana menumbuhkan SDM perusahaan, sehingga memberikan kontribusi yang positif. Bagaimana menanamkan budaya perusahaan yang kondusif dan sesuai dengan cita-cita pendirinya.
Bagaimana merancang atau merekayasa bisnis model supaya sesuai dengan visi bisnis dan mencapai economic of scale.
MARKETING ISSUE
Bagaimana meningkatkan jumlah sales secara terus menerus. Bagaimana membuat nilai tambah. Bagaimana meningkatkan market share dan profit. Bagaimana menekan akusisi cost, dan seterusnya.
FINANCIAL ISSUE
Bagaimana mendapatkan pembiayaan buat ekspansi bisnis kita. Ini adalah sebuah tantangan tersendiri. Jadi tantangan seorang entrepreneur, selain kreatif, mempunyai passion dan motivated. Dia juga harus melengkapi dirinya dengan ilmu-ilmu manajemen.
Menguasai marketing dan finance. Menjadi entrepreneur yang handal bukanlah semata mengandalkan naluri dan keberanian, melainkan juga harus ilmiah, sistematis, terukur dan terencana.
Bulan depan, sebagai penutup dari Trilogi Entrepreneur in Training ini, saya akan meyampaikan tulisan bagaimana Bisnis anda yang sudah besar bisa semakin besar lagi, “How To Sustain Big and Getting Bigger”.
Semoga bermanfaat.