..ketika kita tidak punya pilihan lain, betapapun beratnya, walaupun kelihatannya tidak mungkin, ternyata setiap orang mempunyai ketahanan yang mengagumkan untuk bisa bertahan dan accomplished.”

Berapa tahun silam, saya bersama dengan beberapa teman lama, a high school friends and others, hiking mendaki Rinjani. Kami lulus SMA tahun 1987, dari SMA Regina Pacis di Bogor. Jadi rata-rata usia kami ketika melakukan pendakian ini, sekitar 44-45 tahunan waktu itu. Istri saya mengatakan bahwa kita-kita ini terkena mid life syndrome, krisis paruh baya. “Pake acara naik gunung segala,” demikian katanya.
But we go anyway, Rinjani is beautiful. But the hike is ‘like hell’. hari pertama, kita mendaki dari pukul 9 pagi, sampai di first camp (2,600 dpl) jam 6.30 sore.
Melalui padang rumput yang panas bukan kepalang. Bukit terakhir yang kami daki, namanya Bukit Penyesalan. Kata guide yang menyertai kami, di bukit ini biasanya orang pada menyesal, tapi sudah tidak bisa berbuat apa-apa. harus naik, walaupun lelah bukan kepalang, karena tidak ada pilihan lain, turun juga sudah sangat jauh.
Saya sempat khawatir karena beberapa kawan kelihatan sudah lelah sekali. Bahkan ada seorang teman yang sudah kram kakinya sejak awal mendaki. But, to make the story short, everyone make it.
Pelajaran dari Bukit Penyesalan adalah, ketika kita tidak punya pilihan lain, betapapun beratnya, walaupun kelihatannya tidak mungkin, ternyata setiap orang mempunyai ketahanan yang mengagumkan untuk bisa bertahan dan accomplished. Kata kuncinya adalah tidak punya pilihan lain, harus berhasil atau mati.
Ketika memulai bisnis membangun BPR Lestari 19 tahun yang lalu. Saya dihadapkan pada kenyataan pahit. Membangun bisnis ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Tiga tahun sudah saya keluar dari pekerjaan saya, dan membangun bisnis, I don’t see the light at the end of the tunnel.
Tapi mau mundur juga waktu itu sudah tidak bisa. Maju salah, mundur kena. Sama seperti perjalanan di Bukit Penyesalan. Mau naik berat sekali, tapi mundur is not an option. Kadang kala, posisi seperti ini malah menjadi leverage (alat bantu) buat kita. Ketika kita dihadapkan pada pilihan harus berhasil atau mati, biasanya kita berhasil.
Banyak kawan yang memulai bisnis secara part time gagal. Mungkin sebenarnya bukan gagal dalam arti sesungguhnya, namun ketika bisnisnya menemui kesulitan (dan Anda pasti akan menemui kesulitan). Mereka akan kembali ke comfort zone. Sehingga bisnisnya gagal.
Di hari kedua, lebih gila lagi. Kita dibangunkan jam 3 pagi, dan pendakian dimulai jam 4 pagi. Kali ini menuju summit (3,700 dpl). Pendakian ke summit luar biasa melelahkan, medannya berpasir. Jadi naik selangkah, mundur selangkah. Kecuraman mungkin 45 derajat.
But at the top, the view is superb. Danau Segara Anakan di bawah kita. Danaunya masih gelap, namun bebatuan kawahnya mulai berkilauan disinari matahari yang baru terbit. Dan ketika matahari cukup tinggi, giliran air danaunya yang berkilauan.
Dan sekelilingnya, kita bisa melihat bukitbukit yang sudah kita daki, gleaming dengan cahaya matahari pagi bercampur dengan embun pagi. Mistik, dahsyat. Namun saya kapok. Perjalanan subuh tadi sangat melelahkan. Cukup, no more!
Ketika kembali ke base camp. Saya bilang tidak mau melanjutkan hiking yang masih 2 hari lagi. Saya bujuk teman-teman saya untuk turun saja, toh kita sudah sampai ke puncak. Yang hike 2 hari lagi kita habiskan di Gili saja. Nginep di resort, makan enak, pijet, snorkeling-an.
Sebagian setuju dengan usul saya, sebagian lagi tidak. Yang tidak setuju, meledek saya bahwa ‘catatan saya balik kandang, unfinished, akan dikenang sampai ratusan tahun katanya.
Saya seharusnya sudah menyerah. Namun lingkungan saya tidak memungkinkan saya menyerah. Makanya, penting sekali buat kita untuk memilih lingkungan yang positif buat kita. Lingkungan yang membawa kita lebih dekat kepada cita-cita kita. Bukan sebaliknya, your peer will play an important roles in your career, in your life.
“People lives in a direct expectations of his surrounding,” demikian kata Toni Robbins. Perhatikan dengan siapa kita bergaul.
So, I move on. Day 2 is a true test.
Setelah subuh mendaki summit, kini kita menuruni gunung menuju danau. Turunnya curam sekali, bebatuan. Paha, kaki dan jempol sakit semua. Tapi yang mengerikan setelah sampai danau, kita harus mendaki lagi ke puncak yang satunya. Kali ini medannya batu-batu. Mendakinya curam sekali. Bahkan kadang kita harus merayap dengan kedua tangan kita.
Salah seorang kawan kami drop. Kelelahan sekali, padahal baru mendaki sebentar. Mukanya pucat, keringatnya dingin. Setiap dua langkah harus berhenti, nafasnya memburu. Saya khawatir sekali, karena perjalanan masih panjang, mendaki terus, curam dan terjal. Tidak boleh meleset, agar tidak masuk jurang. Padahal kalau sudah kelelahan seperti itu, pandangan mata bisa buram, kepala pusing dan kaki lunglai.
Bagaimana kalau meleset, demikian juga dengan kondisi jantung? Napasnya memburu dan tidak turun-turun, tanda kelelahan akut. Kemampuan recovery-nya menurun drastis.
Kalau dipaksa, jantungnya ngadat, gimana? Saya sempat bicara dengan guide kami untuk bermalam di tengah hutan saja, beristirahat. Namun tenda sudah dibawa lebih dahulu oleh para porter, dan porternya sudah jauh di depan, bahkan mungkin sudah memasang tenda dipuncak Rinjani yang satunya, sementara kita masih di tengah hutan.
Berat sekali kelihatannya untuk memanggil porter dan menurunkan tenda yang sudah terpasang di puncak. Jadi kita teruskan berjalan, selangkah demi selangkah. Beristirahat sebentar setiap 2-3 langkah.
Mengagumkan, ternyata sampai juga. Walaupun harus merangkak. Walaupun kemalaman di hutan, sampai harus memakai senter. Jam 8 malam baru kami mencapai base camp ke-2 (2,500 dpl).
Dengan selangkah demi selangkah, gunung yang tinggi terdaki juga. Menurut saya, ini pelajaran ketiga yang penting dari Rinjani.
Keep your focus, go fast if you can, go slow if you must!

Ternyata, walaupun dengan melangkah step by step, namun tetap bergerak menuju puncak, akhirnya sampai juga. Bahkan lebih cepat daripada yang kita bayangkan. Hari ketiga kita menuruni Rinjani dengan selamat, dan kemudian menginap di holiday Inn Senggigi. Saya dan kawan akhirnya menikmati dinner by the pool di resort yang indah. Mereka jalannya terpincang-pincang, namun saya tidak sakit sedikitpun. My training, squad and lunges, akhirnya pays off.